Jum'at 01 Februari 2013
Menjelang akhir tahun, Indonesia dikejutkan dengan wacana "BOIKOT PAJAK". Wacana ini menyeruak dipicu oleh hasil musyawarah nasioanal Nahdlatul Ulama (NU) di Cirebon. Yang mana hasil Munas tersebut tercipta seiring maraknya pemberitaan tentang kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum pegawai pajak. Masyarakat kemudian menganggap bahwa uang pajak mereka dikorupsi oleh pegawai pajak tersebut.
Kalau membaca statement diatas rasanya sebagai masyarakat awam sangat mendukung wacana tersebut. Karena sudah capek-capek mencari uang untuk kehidupan pribadi sehari-hari sekaligus sebagian untuk membayar pajak nyata-nyatanya malah dikorupsi. Orang mana yang rela begitu saja uang pajaknya dibawa kabur sedangkan seharusnya uang tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan nasional.
Kalau kita cermat, wacana "BOIKOT PAJAK" itu sendiri sebenarnya hanyalah warning atau peringatan agar Direktoral Jenderial (Ditjen) Pajak serius dalam upayanya memerangi korupsi serta perbaikan tata kelola pajak agar lebih baik. Harapannya agar Ditjen Pajak mampu meresponnya dengan aturan jelas melalui penindakan tegas kepada pegawai pajak yang korup.
Perlu diketahui bahwa di kantor pajak sudah tidak ada yang menerima uang pajak dari Wajib Pajak (WP) yang membayar pajak. Uang yang dibayarkan tersebut semuanya masuk ke kas negara di Bank Indonesia bukan ke kantor pajak. Jadi sebagai masyarakat modern janganlah selalu mengaitkan korupsi uang pajak dengan para pegawai Ditjen Pajak sekalipun dulu pernah ada kasus tersebut namun sekarang sistem dan birokrasi sudah diperbahraui dan di atur sedemikian rupa guna memaksimalkan kinerja dan pengawasan di Ditjen Pajak itu sendiri. Juga perlu direnungkan bahwa ketika pajak di boikot, harga yang harus dibayar negara sangat mahal. Negara bisa ambruk dan imbasnya akan terjadi tindak anarkisme.
Salam calon pegawai Ditjen Pajak,
AHMAD NURUS SIROT
0 comments:
Posting Komentar